Dukung Polda Riau Usut Tuntas SPPD Fiktif, Pengamat Hukum: Pengembalian Kerugian Negara oleh Pegawai Masuk Restoratif Justice

Pengamat Hukum Pidana UNRI, Dr. Erdianto Effendi, M.Hum



PEKANBARU (NU)-Pengamat Hukum Pidana UNRI, Dr. Erdianto Effendi, M.Hum mendukung sepenuhnya proses penyidikan yang dilakukan Kepolisian Daerah Riau (Polda Riau) untuk menuntaskan kasus SPPD fiktif. 

"Sabar saja, saya kira Polda Riau pasti akan usut tuntas kemarin itu karena ada faktor libur, juga lebaran," katanya. 

Saat ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau menargetkan penetapan tersangka dilakukan setelah hasil audit kerugian negara rampung. 

Saat ini, proses audit sedang difinalisasi bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau dan ditargetkan selesai pada Mei 2025.

“Kalau sudah keluar hasil audit di bulan lima, kami akan lakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka. Gelar perkara ini akan kami koordinasikan dengan Kortas Tipikor dan akan dihadiri langsung oleh tim penyidikan dari Mabes Polri,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan, Rabu, 30 April 2025.

Menanggapi hal itu, Dr. Erdianto berpendapat pengembalian uang yang telah dilakukan pegawai tersebut dapat dikategorikan ke dalam Restorative Justice. 

Hal itu didasarkan pada beberapa alasan, yakninya perbuatan yang dilakukan pegawai tersebut dilakukan secara tidak sengaja. Kemudian apabila semua pidana nantinya masuk penjara, ia menyebut penjara di Indonesia akan penuh sesak. 

"Pengembalian ini sebenarnya tidak menghapus pidana, namun sekarang ada namanya Restorative Justice, pegawai ini tak sengaja mereka melakukan itu, bolehlah, hanya mengembalikan dan tak meneruskan proses," kata Dr.Erdianto.

"Dan perbuatannya dapat dipahami, kalau semuanya begitu penuh penjara oleh tindakan sifatnya seperti itu," imbuhnya. 

Dalam pendekatan Restorative Justice, terjadi dialog antara korban, pelaku, dan komunitas untuk membahas konsekuensi tindakan kriminal dan mencari solusi yang sesuai untuk semua pihak. Ini dapat mencakup permintaan maaf, restitusi, atau tindakan lain yang membantu memperbaiki dampak tindakan tersebut.

 Pendekatan ini berusaha untuk mendorong pertanggungjawaban dan belajar dari kesalahan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengulangan kejahatan.

Namun, ia mengatakan apabila yang dilakukan itu Pimpinan Sekretariat DPRD nya, maka mereka lah yang harus dipersalahkan. 

"Kalau tadi mereka tak sengaja, kalau mereka pejabat kan diberi kewenangan, kalau level nya pejabat, mereka yang dipersalahkan. Termasuk ya tadi Pimpinan Sekretariat Dewan  maupun DPRD sendiri misalnya saja Sekretaris Dewan," sebutnya. 

Erdianto menjelaskan prinsip hukum pidana apabila suatu perbuatan melawan hukum misalnya korupsi, diketahui oleh seseorang, walau tidak menikmati hasil maka dapat dikategorikan perbuatan pidana. 

"Prinsip hukum pidana tu orang yang mengetahui, menyadari perbuatan, ya karena unsur korupsi bukan saja orang yang menikmati hasil, dia yang bertanggungjawab untuk itu" katanya. 

Sebuah perbuatan kesalahan seperti korupsi tidak dilakukan pencegahan, maka termasuk perbuatan penyalahgunaan dan melawan hukum. 

"Mereka harusnya mencegah itu, ini tidak melakukan upaya apapun untuk mencegah dan sebagainya," ujarnya. 

Selain pegawai, ada dugaan aliran dana SPPD Fiktif tersebut mengarah kepada selebram Hana Hanifah sebesar Rp 1 miliar. 

Erdianto menilai Hana Hanifah sebagai yang turut menikmati dana tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi, melainkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 

"Ya kalau menurut saya, dia kan cuman menerima, paling ditarik ke TPPU. Tapi Hana Hanifah tak bisa tenang tenang saja, memang dari segi korupsi dia tak masuk karena tak melakukan perbuatan melawan hukum," katanya. 

"Tapi kalau dibilang TPPU bisa, dia seharusnya patut tau uang itu dari mana, dikasih duit berapa, dan beberapa asetnya pun juga sudah disita terkait kasus ini kan," lanjutnya. 

Menurut Erdianto yang juga sekaligus Dosen tersebut perlunya masyarakat kritis terhadap menerima suatu uang ataupun imbalan dari seseorang. 

"Kita harus kritis juga kalau dikasih duit, dalam sistem sekarang menerima duit harus kita profiling juga," ujarnya. (HR)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama